Wanita ini berumur tujuh puluhan.
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana orang seusia ini menilai hidupnya?
Jika ada yang ia ingat tentang
hidupnya, tentunya berupa suatu "kehidupan yang cepat berlalu".
Ia akan berkomentar bahwa hidupnya
tidaklah "panjang" sebagaimana impiannya di usia belasan. Mungkin tak
pernah terlintas dalam benaknya bahwa suatu hari ia akan menjadi begitu tua.
Namun kini, ia dicekam oleh kenyataan bahwa ia telah meninggalkan tujuh puluh
tahun di belakangnya. Ketika muda, mungkin tak pernah terpikir olehnya bahwa
kebeliaan dengan segala gairahnya akan berlalu begitu cepat.
Bila pada usia senja ia diminta
untuk menceritakan kisah hidupnya, kenangannya akan terangkum dalam pembicaraan
selama lima atau enam jam saja. Hanya itulah yang tersisa dari yang disebutnya
sebagai "masa tujuh puluh tahun yang panjang".
Daya pikir seseorang, yang melemah
sesuai usia, dipenuhi banyak pertanyaan. Berbagai pertanyaan ini sungguh
penting untuk direnungkan, dan menjawabnya secara jujur sangat mendasar untuk
memahami seluruh aspek kehidupan: "Apakah tujuan dari hidup yang berlalu
begitu cepat ini? Mengapa aku harus terus bersikap positif dengan semua masalah
kerentaan yang kumiliki? Apa yang akan terjadi di masa depan?"
Jawaban yang mungkin terhadap
pertanyaan-pertanyaan ini terbagi dalam dua kategori utama: dari orang-orang
yang mengimani Allah dan dari orang-orang yang tidak mengimani-Nya.
Seseorang yang tidak mengimani Allah
akan mengatakan, "Saya telah menghabiskan hidup mengejar hal yang sia-sia.
Saya telah meninggalkan tujuh puluh tahun di belakang saya, namun sebenarnya,
saya masih belum dapat memahami untuk apa saya hidup. Ketika masih anak-anak,
orang tua adalah pusat kehidupan saya. Saya mendapatkan kebahagiaan dan
kesenangan dalam cinta mereka. Kemudian, sebagai seorang wanita muda, saya
mengabdikan diri kepada suami dan anak-anak. Pada masa itu, saya membuat banyak
cita-cita untuk diri saya. Namun ketika tercapai, semuanya seperti sesuatu yang
cepat berlalu. Saat bergembira dalam keberhasilan, saya melangkah menuju
cita-cita lain yang menyibukkan, sehingga saya tidak memikirkan makna hidup
yang sesungguhnya.
Kini pada usia tujuh puluh tahun,
dalam ketenangan usia senja, saya mencoba menemukan apa gerangan tujuan masa
lalu saya. Apakah saya hidup untuk orang-orang yang kini hanya samar-samar saya
ingat? Untuk orang tua saya? Untuk suami saya yang telah berpulang
bertahun-tahun yang lalu? Atau anak-anak yang kini jarang saya lihat karena
telah memiliki keluarga masing-masing? Saya bingung. Satu-satunya kenyataan
adalah bahwa saya merasa dekat dengan kematian. Saya akan segera meninggal dan
menjadi kenangan yang redup dalam benak orang-orang. Apa yang akan terjadi
selanjutnya? Saya benar-benar tidak tahu. Bahkan memikirkannya saja sudah
menakutkan!"
Tentunya ada alasan mengapa ia
begitu berputus asa. Ini semata karena ia tidak dapat memahami bahwa alam
semesta, seluruh makhluk hidup dan manusia memiliki tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya dan harus dipenuhi dalam hidup. Adanya tujuan-tujuan ini
berasal dari fakta bahwa segalanya telah diciptakan. Orang yang berakal dapat
melihat hadirnya perencanaan, perancangan, dan kearifan dalam setiap detail
dunia yang penuh variasi. Hal ini membawanya pada pengenalan terhadap sang
Pencipta. Selanjutnya ia akan menyimpulkan bahwa, karena seluruh makhluk hidup
tidaklah disebabkan oleh suatu proses acak atau tanpa sadar; mereka semua
menjalankan tujuan yang penting. Dalam Al Quran, pedoman asli terakhir yang
diturunkan untuk manusia, Allah berulang kali mengingatkan kita akan tujuan
hidup kita, suatu hal yang cenderung kita lupakan, dan dengannya membimbing
kita pada kejelasan pemikiran dan kesadaran.
Dan Dia-lah yang menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya di atas air, agar Dia
menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Huud, 11: 7)
Ayat ini memberikan pemahaman penuh
akan tujuan hidup bagi orang-orang yang beriman. Mereka mengetahui bahwa hidup
ini adalah tempat mereka diuji dan dicoba oleh Pencipta mereka. Karenanya,
mereka berharap untuk berhasil dalam ujian ini dan mencapai surga serta
kesenangan yang baik dari Allah.
Akan tetapi, demi kejelasan, ada
sebuah poin penting untuk dipikirkan: mereka yang mempercayai 'keberadaan'
Allah tidak lantas memiliki keyakinan yang benar; jika mereka tidak meletakkan
kepercayaan kepada Allah. Kini, banyak orang menerima bahwa alam semesta adalah
ciptaan Allah; namun, mereka kurang memahami dampak fakta ini terhadap hidup
mereka. Karenanya, mereka tidak menjalankan hidup mereka sebagaimana yang
seharusnya. Apa yang dianggap orang-orang ini sebagai kebenaran adalah, bahwa
pada awalnya Allah menciptakan alam semesta ini, kemudian meninggalkannya.
Dalam Al Quran, Allah menunjukkan
kesalahpahaman ini dalam ayat berikut:
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan
kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu
mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi
Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Luqman, 31: 25)
Dan sungguh jika kamu bertanya
kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab:
"Allah", maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan? (Surat
az-Zukhruf: 87)
Karena kesalahpahaman ini, manusia
tidak dapat menghubungkan kehidupan mereka sehari-hari dengan fakta bahwa
mereka memiliki Pencipta. Itulah alasan dasar mengapa setiap manusia
mengembangkan prinsip dan nilai-nilai moral pribadinya sendiri, yang terbentuk
dalam budaya, komunitas, dan keluarga tertentu. Prinsip-prinsip ini sebenarnya
berfungsi sebagai "petunjuk hidup" hingga datangnya kematian.
Manusia yang menaati nilai-nilai
mereka sendiri akan mendapatkan kenyamanan dalam harapan bahwa setiap tindakan
yang salah akan dihukum sementara dalam neraka. Pemikiran sejenis menyimpulkan
bahwa kehidupan abadi dalam surga akan mengikuti masa penyiksaan ini. Pemikiran
tersebut tanpa sadar meredakan rasa takut akan hukuman yang memilukan di akhir
kehidupan. Beberapa orang, di lain pihak, bahkan tidak merenungkan hal ini.
Mereka sama sekali tidak memedulikan dunia selanjutnya dan "memanfaatkan
hidup sebaik-baiknya".
Bagaimanapun, hal di atas tidak
benar dan kenyataannya berseberangan dengan apa yang mereka pikirkan. Mereka
yang berpura-pura tidak menyadari keberadaan Allah akan terjebak dalam
keputusasaan yang dalam.
Dalam Al Quran, orang-orang tersebut digambarkan sebagai berikut:
Dalam Al Quran, orang-orang tersebut digambarkan sebagai berikut:
Mereka hanya mengetahui yang lahir
dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang akhirat adalah lalai.
(QS. Ar-Ruum, 30: 7)
(QS. Ar-Ruum, 30: 7)
Tidak ada yang kekal di dunia ini. Waktu berlaku pada hal-hal yang bagus dan baru. Sebuah mobil baru akan segera ketinggalan jaman begitu model lain dirancang, diproduksi, dan dipasarkan. Sama halnya, seseorang mungkin menginginkan rumah besar milik orang lain atau rumah mewah dengan ruangan yang lebih banyak daripada penghuninya dan dengan perlengkapan yang dilapisi emas, yang pernah dilihat sebelumnya, akan kehilangan selera terhadap rumahnya sendiri dan tidak dapat menghindari hal-hal tersebut dengan rasa iri.
Sebuah pencarian tak berakhir untuk
sesuatu yang baru dan lebih baik tidak memberikan nilai ketika ia telah
dicapai, celaan terhadap sesuatu yang lama, dan meletakkan seluruh harapan pada
yang baru: ini adalah lingkaran setan yang telah dialami manusia di mana pun
sepanjang sejarah. Namun, seorang manusia yang berilmu pengetahuan seharusnya
berhenti dan bertanya pada diri sendiri untuk sesaat: mengapa ia mengejar
ambisi yang sementara dan sudahkah ia dapatkan keuntungan dari upaya itu?
Akhirnya, ia seharusnya menarik kesimpulan bahwa "ada masalah mendasar
pada pandangan ini". Namun manusia, yang sedikit sekali memikirkan hal
ini, terus mengejar mimpi yang sepertinya tidak akan dapat mereka capai.
Tidak ada seorang pun, bagaimanapun
juga, mengetahui apa yang akan terjadi bahkan dalam beberapa jam mendatang:
setiap saat seseorang mungkin mengalami kecelakaan, terluka parah, atau menjadi
cacat. Lebih jauh lagi, waktu berlalu dalam perhitungan menuju kematian
seseorang. Setiap hari membawa hari yang telah ditakdirkan tersebut lebih
dekat. Kematian pastilah menghapus seluruh ambisi, keserakahan, dan keinginan
terhadap dunia ini. Di dalam tanah, baik harta benda maupun status tidak
berlaku. Setiap harta benda yang membuat kita kikir, begitupun tubuh kita, akan
menghilang dan meluruh di dalam tanah. Apakah seseorang itu kaya atau miskin,
cantik atau jelek, suatu saat ia akan dibungkus dalam kafan yang sederhana.
Kami percaya bahwa Fakta-Fakta yang Mengungkap Hakikat
Hidup menawarkan sebuah penjelasan
mengenai sifat yang sesungguhnya dari kehidupan manusia. Sebuah kehidupan
pendek dan penuh tipuan yang didalamnya keinginan duniawi terlihat menarik dan
penuh janji, namun kenyataannya bertolak belakang.
Allah memerintahkan orang-orang
beriman untuk mengingatkan manusia lain akan fakta-fakta ini, dan menyuruh
mereka hidup hanya untuk memenuhi keinginan-Nya, sebagaimana yang
difirmankan-Nya dalam ayat berikut:
Hai manusia, bertakwalah kepada
Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang seorang bapak tidak dapat menolong
anaknya dan seorang anak tidak dapat menolong bapaknya sedikit pun.
Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan
dunia memperdayakan kamu, dan jangan penipu memperdayakan kamu dalam Allah.
(QS. Luqman, 31: 33)
PERSEPSI TENTANG WAKTU
Apa yang kita persepsikan sebagai waktu sesungguhnya sebuah
metode untuk membandingkan satu momen dengan momen lain. Ini dapat dijelaskan
dengan sebuah contoh. Misalnya, ketika seseorang memukul sebuah benda, ia
mendengar bunyi tertentu. Ketika ia memukul benda yang sama lima menit
kemudian, ia mendengar bunyi lagi. Orang tersebut merasakan jeda antara bunyi
pertama dengan bunyi kedua, dan menyebut jeda ini sebagai "waktu".
Namun saat ia mendengar bunyi kedua, bunyi pertama yang didengarnya tak lebih
dari sebuah imajinasi dalam pikirannya. Bunyi pertama hanyalah sepotong kecil
informasi dalam memori. Ia merumuskan konsep "waktu" dengan
membandingkan momen yang sedang dijalaninya dengan momen yang ada dalam
memorinya. Jika perbandingan ini tidak dilakukan, maka persepsi waktu pun tidak
ada.
Sama halnya dengan seseorang yang membuat perbandingan
ketika ia melihat orang lain memasuki ruangan dan duduk di kursi di tengah
ruangan. Ketika orang tersebut duduk di kursi, citra yang berkaitan dengan saat
ia membuka pintu, masuk ke dalam ruangan dan berjalan ke kursi, disusun sebagai
potongan-potongan informasi di dalam otak. Persepsi tentang waktu terjadi
ketika ia membandingkan kejadian orang yang duduk di kursi dengan kumpulan
informasi yang dimilikinya.
Singkatnya, waktu muncul sebagai hasil perbandingan antara
beberapa ilusi yang tersimpan di dalam otak. Bila seseorang tidak memiliki
memori, maka otaknya tidak dapat melakukan interpretasi seperti itu sehingga
persepsi tentang waktu tidak terbentuk. Alasan seseorang menyatakan dirinya
berumur 30 tahun hanyalah karena ia telah mengakumulasi informasi berkaitan
dengan 30 tahun tersebut di dalam otaknya. Bila memorinya tidak ada, maka ia
tidak akan berpikir tentang keberadaan periode yang telah berlalu dan ia hanya
akan mengalami "momen" tunggal yang sedang dijalaninya.
Penjelasan Ilmiah tentang Ketiadaan Waktu
Kutipan penjelasan beberapa ilmuwan dan cendekiawan berikut akan lebih menerangkan subjek ini. François Jacob, seorang intelektual terkenal dan profesor bidang genetika penerima hadiah Nobel, dalam bukunya Le Jeu des Possibles (Yang Mungkin dan Yang Aktual) menjelaskan tentang waktu yang berjalan mundur:
Film yang diputar mundur memungkinkan kita membayangkan sebuah dunia di mana waktu berjalan mundur: sebuah dunia di mana susu memisahkan diri dari kopi, meloncat keluar dari cangkir dan masuk kembali ke dalam panci susu; di mana berkas-berkas cahaya dipancarkan dari dinding-dinding dan menyatu dalam sebuah pusat, bukannya memancar keluar dari sumber cahaya; di mana sebuah batu naik ke telapak tangan seseorang karena kerja sama menakjubkan dari banyak tetes air yang membuat batu tersebut keluar dari dalam air. Namun dalam dunia di mana waktu berjalan mundur, proses-proses di dalam otak dan cara memori kita mengumpulkan informasi pun mengikutinya. Hal serupa juga berlaku bagi masa lalu dan masa depan, dan bagi kita, dunia akan tampak seperti apa adanya.
Dunia tidak berjalan seperti dinyatakan di atas karena otak kita tidak terbiasa dengan urutan kejadian demikian, dan kita beranggapan bahwa waktu selalu bergerak ke depan. Bagaimanapun, anggapan ini merupakan keputusan yang diambil di dalam otak sehingga bersifat relatif.Sesungguhnya kita tidak pernah tahu bagaimana waktu mengalir, atau bahkan tidak tahu apakah ia mengalir atau tidak. Semua ini menunjukkan bahwa waktu bukanlah fakta absolut melainkan hanya sebuah persepsi.
Fakta bahwa waktu bersifat relatif didukung juga oleh ahli
fisika terpenting di abad ke-20, Albert Einstein. Lincoln Barnett, dalam
bukunya The
Universe and Dr. Einstein (Alam Semesta
dan Dr. Einstein), menulis:
Bersamaan dengan menyingkirkan
konsep ruang absolut, Einstein sekaligus membuang konsep waktu absolut — aliran
waktu universal yang tidak berubah, mengalir terus-menerus dari masa lalu tak
terhingga ke masa depan yang tak terhingga. Sebagian besar ketidakjelasan yang
meliputi Teori Relativitas berasal dari keengganan manusia untuk menyadari
bahwa pengertian waktu, seperti juga pengertian warna, adalah sebuah bentuk
persepsi. Sebagaimana ruang hanyalah suatu susunan objek-objek material yang
mungkin, waktu juga hanyalah susunan kejadian-kejadian yang mungkin.
Subjektivitas waktu paling tepat dijelaskan dengan kata-kata Einstein sendiri.
"Pengalaman-pengalaman individu," katanya, "kita lihat sebagai
rangkaian berbagai kejadian; dalam rangkaian ini, kejadian tunggal yang kita
ingat terurut sesuai dengan kriteria 'lebih dulu' dan 'kemudian'. Oleh karena
itu setiap individu akan memiliki 'waktu-saya' atau waktu subjektif. Waktu ini,
dengan sendiri-nya, tidak dapat diukur. Saya, tentu saja, dapat menghubungkan
angka-angka dengan kejadian-kejadian sedemikian rupa sehingga angka terbesar
melambangkan kejadian terkini dan bukan dengan kejadian lebih awal.
Einstein sendiri menunjukkan, seperti yang dikutip dari buku
Barnett: "ruang dan waktu adalah bentuk-bentuk intuisi tidak terpisahkan
dari kesadaran, seperti halnya konsep warna, bentuk atau ukuran". Menurut
Teori Relativitas Umum: "eksistensi waktu tidak dapat dipisahkan dari
urutan kejadian yang kita gunakan untuk mengukurnya."
Karena waktu terdiri atas persepsi, maka waktu bergantung
sepenuhnya pada orang yang merasakannya. Karena itulah waktu bersifat relatif.
Kecepatan waktu mengalir akan
berbeda berdasarkan acuan yang digunakan untuk mengukurnya, karena tubuh
manusia tidak memiliki jam alami yang dapat menentukan secara tepat kecepatan
waktu berjalan. Seperti yang ditulis Lincoln Barnett: "Sebagaimana tidak
ada warna bila tak ada mata untuk melihatnya, tidak ada pula ukuran sesaat,
sejam atau sehari bila tak ada kejadian untuk menandainya."
Relativitas waktu dapat dialami secara sederhana di dalam
mimpi. Walaupun apa yang kita lihat dalam mimpi tampaknya berlangsung
berjam-jam, sesungguhnya hanya berlangsung beberapa menit, atau bahkan beberapa
detik.
Mari kita lihat sebuah contoh untuk memperjelas masalah ini.
Bayangkan kita dimasukkan ke dalam ruangan dengan sebuah jendela yang dirancang
khusus, dan kita berada di sana selama waktu tertentu. Ruangan tersebut
dilengkapi sebuah jam sehingga kita dapat mengetahui berapa lama waktu yang
telah kita lewati.
Pada saat yang sama kita dapat melihat matahari terbit dan tenggelam pada selang waktu tertentu. Beberapa hari kemudian, untuk menjawab pertanyaan tentang berapa lama kita telah berada di dalam ruangan tersebut, kita akan mengacu pada informasi yang telah kita kumpulkan dengan melihat jam dari waktu ke waktu serta perhitungan berapa kali matahari telah terbit dan tenggelam.
Misalnya, kita memperkirakan, tiga hari sudah kita lalui di dalam ruangan tersebut. Akan tetapi, jika orang yang memasukkan kita ke dalam ruangan itu mengatakan bahwa kita hanya menghabiskan dua hari di sana, dan bahwa matahari yang terlihat dari jendela adalah manipulasi simulasi mesin dan jam yang berada di ruangan telah diatur untuk berjalan lebih cepat, maka perhitungan yang telah kita lakukan menjadi tidak berarti.
Pada saat yang sama kita dapat melihat matahari terbit dan tenggelam pada selang waktu tertentu. Beberapa hari kemudian, untuk menjawab pertanyaan tentang berapa lama kita telah berada di dalam ruangan tersebut, kita akan mengacu pada informasi yang telah kita kumpulkan dengan melihat jam dari waktu ke waktu serta perhitungan berapa kali matahari telah terbit dan tenggelam.
Misalnya, kita memperkirakan, tiga hari sudah kita lalui di dalam ruangan tersebut. Akan tetapi, jika orang yang memasukkan kita ke dalam ruangan itu mengatakan bahwa kita hanya menghabiskan dua hari di sana, dan bahwa matahari yang terlihat dari jendela adalah manipulasi simulasi mesin dan jam yang berada di ruangan telah diatur untuk berjalan lebih cepat, maka perhitungan yang telah kita lakukan menjadi tidak berarti.
Contoh ini menegaskan bahwa informasi yang kita miliki
tentang laju waktu hanyalah berdasarkan acuan relatif. Relativitas waktu adalah
fakta ilmiah yang telah dibuktikan melalui metodologi ilmiah. Teori Relativitas
Umum Einstein menyatakan bahwa kecepatan perubahan waktu tergantung pada
kecepatan benda tersebut dan jaraknya dari pusat gravitasi. Begitu kecepatan
meningkatnya, waktu menjadi lebih singkat dan termampatkan; dan melambat
sehingga bisa dikatakan "berhenti".
Hal ini diperjelas dengan contoh dari Einstein. Bayangkan
dua saudara kembar: salah seorang tinggal di bumi sementara yang lainnya pergi
ke luar angkasa dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Ketika penjelajah
luar angkasa ini kembali ke bumi, ia akan mendapati saudaranya menjadi lebih
tua daripada dirinya.
Hal ini terjadi karena waktu berjalan lebih lambat bagi orang yang bepergian dalam kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Hal yang sama terjadi pula pada seorang ayah penjelajah luar angkasa dan anaknya yang berada di bumi. Jika pada saat pergi, sang ayah berumur 27 tahun dan anaknya berumur 3 tahun; ketika sang ayah kembali ke bumi 30 tahun kemudian (waktu bumi), anaknya akan berumur 33 tahun tetapi sang ayah masih berumur 30 tahun!
Hal ini terjadi karena waktu berjalan lebih lambat bagi orang yang bepergian dalam kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Hal yang sama terjadi pula pada seorang ayah penjelajah luar angkasa dan anaknya yang berada di bumi. Jika pada saat pergi, sang ayah berumur 27 tahun dan anaknya berumur 3 tahun; ketika sang ayah kembali ke bumi 30 tahun kemudian (waktu bumi), anaknya akan berumur 33 tahun tetapi sang ayah masih berumur 30 tahun!
Harus digarisbawahi bahwa relativitas waktu tidak disebabkan
oleh perlambatan atau percepatan jam, atau perlambatan pegas mekanis alat
penghitung waktu. Relativitas ini merupakan hasil perbedaan waktu operasi
sistem materi secara keseluruhan, termasuk di dalamnya partikel-partikel sub
atom. Dengan kata lain, bagi yang mengalaminya, perlambatan waktu bukan berarti
menjalani kejadian seperti dalam film gerak lambat. Dalam keadaan di mana waktu
memendek, detak jantung, replikasi sel, fungsi otak dan segala sesuatunya
berjalan lebih lambat daripada manusia yang bergerak di bumi. Orang tersebut akan
menjalani kehidupan sehari-hari tanpa menyadari sama sekali adanya pemendekan
waktu. Pemendekan waktu tersebut tak akan terlihat jelas, sampai dilakukan
perbandingan.
Relativitas dalam Al Quran
Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern membawa kita pada kesimpulan bahwa waktu tidak bersifat absolut seperti anggapan materialis, tetapi merupakan persepsi relatif. Sangat menarik bahwa fakta yang baru terungkap oleh ilmu pengetahuan pada abad ke-20 ini, telah disampaikan dalam Al Quran kepada manusia 14 abad yang lalu.
Waktu adalah persepsi psikologis yang dipengaruhi oleh
peristiwa, tempat dan kondisi. Fakta yang telah dibuktikan secara ilmiah ini
dapat kita temukan pada banyak ayat Al Quran. Sebagai contoh, Al Quran
menyatakan bahwa masa hidup seseorang sangat pendek:
Yaitu pada hari Dia memanggil kamu,
lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kamu mengira, bahwa kamu tidak
berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja. (QS. Al Israa', 17: 52)
Dan (ingatlah) akan hari (yang di
waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan
mereka tak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat saja di siang hari; (di waktu
itu) mereka akan saling berkenalan. (QS. Yunus, 10: 45)
Beberapa ayat menunjukkan bahwa manusia merasakan waktu
secara berbeda dan kadang-kadang manusia bisa menganggap suatu periode yang
sangat pendek sebagai periode yang sangat panjang. Contoh yang tepat adalah
dialog antara beberapa manusia yang terjadi di saat pengadilan mereka di hari
kiamat:
Allah bertanya: "Berapa
tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab: "Kami
tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada
orang-orang yang menghitung." Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal di
bumi melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." (QS. Al
Mu'minuun, 23: 112-114)
Dalam beberapa ayat lainnya, Allah menyatakan bahwa di
tempat yang berbeda, waktu dapat mengalir dengan cara berbeda pula:
Dan mereka meminta kepadamu agar
azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-sekali tidak akan menyalahi
janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun
menurut perhitunganmu. (QS. Al Hajj, 22: 47)
Malaikat-malaikat dan Jibril naik
(menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. (QS.
Al Ma'aarij, 70: 4)
Banyak ayat Al Quran lainnya menunjukkan bahwa waktu adalah
persepsi. Hal ini terlihat jelas terutama dalam kisah-kisah Al Quran. Sebagai
contoh, Allah telah membuat Ashhabul Kahfi (Penghuni-penghuni Gua) — sekelompok
orang beriman yang disebutkan dalam Al Quran — tertidur lelap selama lebih dari
tiga abad. Ketika terbangun, mereka mengira telah tertidur sebentar tetapi
tidak dapat memastikan berapa lama:
Maka kami tutup telinga mereka
beberapa tahun dalam gua itu, kemudian kami bangunkan mereka, agar Kami
mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam
menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu). (QS. Al Kahfi, 18:
11-12)
Dan demikianlah Kami bangunkan
mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah
seorang di antara mereka: "Sudah berapa lama kamu berada (di sini)?"
Mereka menjawab: "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari. Berkata
(yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui…" (QS. Al Kahfi, 18:
19)
Keadaan yang diceritakan dalam ayat di bawah ini juga
membuktikan bahwa sesungguhnya waktu adalah persepsi psikologis.
Atau apakah (kamu tidak
memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh
menutupi atap-atapnya. Dia berkata, "Bagaimana Allah menghidupkan kembali
negeri ini setelah roboh?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun,
kemudian menghidupkannya kembali. Allah berkata, "Berapa lamakah engkau
tinggal di sini?" Dia berkata, "Saya tinggal di sini sehari atau
setengah hari." Allah berfirman, "Sebenarnya engkau telah tinggal di
sini seratus tahun lamanya; lihatlah makanan dan minumanmu yang tidak tampak berubah;
dan lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang-belulang); Kami akan
menjadikanmu tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Dan lihatlah tulang belulang
keledai itu, bagaimana kami menyusunya kembali, kemudian kami menutupinya
dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah
menghidupkan yang telah mati), diapun berkata, "Saya yakin bahwa Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Baqarah, 2: 259)
Ayat di atas dengan jelas menekankan bahwa Allah-lah yang
menciptakan waktu, dan keberadaan-Nya tidak terbatasi oleh waktu. Di sisi lain,
manusia dibatasi oleh waktu yang ditakdirkan Allah. Sebagaimana dikisahkan
dalam ayat di atas, manusia bahkan tidak mampu mengetahui berapa lama ia
tertidur. Dalam keadaan seperti ini, menyatakan bahwa waktu adalah absolut
(sebagaimana dikatakan materialis) merupakan hal yang tidak masuk akal.
Takdir
Relativitas waktu memperjelas sebuah permasalahan yang
sangat penting. Relativitas sangat bervariasi. Apa yang bagi kita tampak
seperti bermiliar-miliar tahun, mungkin dalam dimensi lain hanya berlangsung
satu detik. Bahkan, bentangan periode waktu yang sangat panjang dari awal
hingga akhir dunia, dalam dimensi lain hanya berlangsung sekejap.
Ini adalah intisari dari konsep takdir — sebuah konsep yang
belum dipahami dengan baik oleh kebanyakan manusia, khususnya materialis yang
jelas-jelas mengingkari hal tersebut. Takdir adalah pengetahuan sempurna yang
dimiliki Allah tentang seluruh kejadian masa lalu atau masa depan. Kebanyakan
orang mempertanyakan bagaimana Allah dapat mengetahui peristiwa yang belum
terjadi, dan ini membuat mereka gagal memahami kebenaran takdir. "Kejadian
yang belum terjadi" hanya belum dialami oleh manusia. Allah tidak terikat
ruang ataupun waktu, karena Dialah pencipta keduanya. Oleh sebab itu, masa
lalu, masa mendatang, dan sekarang, seluruhnya sama bagi Allah; bagi-Nya segala
sesuatu telah berjalan dan telah selesai.
Dalam The
Universe and Dr. Einstein, Lincoln
Barnett menjelaskan bagaimana Teori Relativitas Umum membawa kita kepada kesimpulan
di atas. Menurut Barnett, alam semesta "dengan seluruh keagungannya hanya
dapat dicakupi oleh sebuah intelektual kosmis." Kehendak yang
disebut Barnett sebagai "intelektual kosmis" tak lain adalah
ketetapan dan pengetahuan Allah yang berlaku bagi seluruh alam semesta. Allah
memahami waktu yang berlaku pada diri kita dari awal hingga akhir sebagai
kejadian tunggal, sebagaimana kita dapat melihat awal, tengah dan akhir sebuah
mistar beserta semua unitnya sebagai satu kesatuan. Manusia mengalami kejadian
hanya bila saatnya tiba, dan mereka menjalani takdir yang telah Allah tetapkan
atas mereka.
Perlu diperhatikan pula kedangkalan dan penyimpangan
pemahaman masyarakat tentang takdir. Mereka berkeyakinan bahwa Allah telah
menentukan "takdir" setiap manusia, tetapi takdir ini terkadang dapat
diubah oleh manusia itu sendiri. Sebagai contoh, orang akan mengomentari
seorang pasien yang kembali dari gerbang kematian dengan pernyataan seperti
"ia telah mengalahkan takdirnya". Akan tetapi, tidak ada seorang pun
yang dapat mengubah takdirnya. Orang yang kembali dari gerbang kematian tidak
mati karena ia ditakdirkan tidak mati saat itu. Mereka yang mengatakan "saya
telah mengalahkan takdir saya" berarti telah menipu diri sendiri. Takdir
mereka pulalah sehingga mereka berkata demikian dan mempertahankan pemikiran
seperti itu.
Takdir adalah pengetahuan abadi kepunyaan Allah, Dia yang
memahami waktu sebagai kejadian tunggal dan Dia yang meliputi keseluruhan ruang
dan waktu. Bagi Allah, segalanya telah ditentukan dan sudah selesai dalam
sebuah takdir. Berdasarkan hal-hal yang diungkapkan dalam Al Quran, kita juga
dapat memahami bahwa waktu bersifat tunggal bagi Allah. Kejadian yang bagi kita
terjadi di masa mendatang, digambarkan dalam Al Quran sebagai kejadian yang
telah lama berlalu. Sebagai contoh, ayat-ayat yang menggambarkan manusia
menyerahkan catatan amalnya kepada Allah di akhirat kelak, mengungkapkan
kejadian tersebut sebagai peristiwa yang telah lama terjadi:
Dan ditiuplah sangkakala, maka
matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah.
Kemudian ditiup sangka-kala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri
menunggu (putusannya masing-masing). Dan terang benderanglah bumi (padang
mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan
perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan
diberi keputusan di antara mereka dengan adil sedang mereka tidak dirugikan...
Orang-orang kafir dibawa ke neraka jahanam berombong-rombongan... (QS. Az
Zumar, 39: 73)
Ayat lainnya mengenai masalah ini adalah:
Dan datanglah tiap-tiap diri,
bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi.
(QS. Qaaf, 50: 21)
Dan terbelahlah langit, karena pada
hari itu langit menjadi lemah. (QS. Al Haaqqah, 69: 16)
Dan Dia memberi balasan kepada
mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera. Di dalamnya
mereka duduk bertelekan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya
(teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang bersangatan. (QS. Al Insan, 76:
12-13)
Dan diperlihatkan neraka dengan
jelas kepada setiap orang yang melihat. (QS. An Naazi'aat, 79: 36)
Maka pada hari ini, orang-orang yang
beriman menertawakan orang-orang kafir. (QS. Al Muthaffifiin, 83: 34)
Dan orang-orang yang berdosa melihat
neraka, maka mereka meyakini, bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya dan mereka
tidak menemukan tempat berpaling daripadanya. (QS. Al Kahfi, 18: 53)
Terlihat bahwa peristiwa yang akan terjadi setelah kematian
kita (dari sudut pandang manusia) dibicarakan dalam Al Quran sebagai peristiwa
yang sudah selesai dan telah lama berlalu. Allah tidak terbatasi kerangka waktu
relatif yang membatasi kita. Allah menghendaki semua ini dalam ketiadaan waktu;
manusia sudah selesai melakukannya, seluruh peristiwa telah dilalui dan telah
berakhir. Dalam ayat di bawah ini disebutkan bahwa setiap kejadian, kecil
maupun besar, seluruhnya berada dalam pengetahuan Allah dan tercatat dalam
sebuah kitab:
Kamu tidak berada dalam suatu
keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan
suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu
melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah
(atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula)
yang lebih besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam sebuah kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yunus, 10: 61)
Kekhawatiran Materialis
Topik tentang kebenaran yang mendasari materi, ketiadaan
waktu dan ketiadaan ruang telah dengan sangat jelas dibahas dalam bab ini.
Seperti dinyatakan sebelumnya, ini bukan sebuah filsafat atau cara berpikir,
namun merupakan kebenaran nyata yang tidak mungkin diingkari. Selain merupakan
kenyataan teknis, bukti-bukti rasional dan logis pun membawa kita kepada
satu-satunya alternatif: alam semesta beserta seluruh zat yang membangunnya dan
seluruh manusia yang hidup di dalamnya, merupakan sebuah ilusi. Semuanya
merupakan kumpulan persepsi.
Materialis mengalami kesulitan memahami hal di atas. Sebagai
contoh, mari kita tinjau kembali perumpamaan bis Politzer: meskipun secara
teknis Politzer tahu bahwa ia tidak dapat keluar dari persepsinya, ia hanya
mengakuinya untuk beberapa kasus tertentu. Bagi Politzer, peristiwa berlangsung
di dalam otak hingga bis menabraknya. Namun segera setelah tabrakan terjadi,
segalanya keluar dari otak dan menjadi realitas fisik.
Pada tahap ini kecacatan logikanya sangat jelas: Politzer telah melakukan kesalahan yang sama seperti filsuf materialis Johnson yang mengatakan "Saya tendang batu, kaki saya sakit, karena itulah batu itu ada". Politzer tidak dapat memahami bahwa rasa sakit yang dirasakan setelah tabrakan bis semata-mata adalah persepsi juga.
Pada tahap ini kecacatan logikanya sangat jelas: Politzer telah melakukan kesalahan yang sama seperti filsuf materialis Johnson yang mengatakan "Saya tendang batu, kaki saya sakit, karena itulah batu itu ada". Politzer tidak dapat memahami bahwa rasa sakit yang dirasakan setelah tabrakan bis semata-mata adalah persepsi juga.
Alasan dasar mengapa materialis tidak dapat memahami
permasalahan ini adalah ketakutan mereka terhadap fakta harus hadapi setelah
memahaminya. Lincoln Barnett menggambarkan bagaimana beberapa ilmuwan
"melihat" permasalahan ini:
Bersamaan dengan pereduksian para filsuf atas seluruh
realitas objektif menjadi dunia maya yang dibangun oleh persepsi, ilmuwan
menyadari keterbatasan-batasan yang menakutkan dari indra manusia.
Bayangkan jika bumi dan seluruh planet tidak berputar, masih adakah waktu? |
Acuan apa pun yang menyatakan bahwa materi dan waktu hanya
persepsi sangat menakutkan bagi seorang materialis, karena hanya itulah
pegangannya sebagai makhluk absolut. Pada tingkat tertentu, ia mempertuhankan
materi dan waktu; karena berkeyakinan bahwa ia telah diciptakan oleh materi dan
waktu (melalui evolusi).
Ketika ia menyadari bahwa segala sesuatu — alam semesta
tempatnya hidup, dunia, tubuhnya sendiri, orang-orang lain, filsuf materialis
lain yang telah mempengaruhi pemikirannya, dan lain-lain — adalah persepsi, ia
merasa sangat ketakutan. Segala sesuatu yang diandalkan, dipercayai, dan
ditujunya, secara tiba-tiba menghilang. Ia merasakan putus asa; hal yang
sesungguhnya akan dirasakannya pula pada hari perhitungan dalam arti
sebenarnya, seperti yang digambarkan ayat
"Dan mereka menyatakan ketundukannya kepada Allah pada hari itu dan hilanglah dari mereka apa yang selalu mereka ada-adakan." (QS. An Nahl, 16: 87).
"Dan mereka menyatakan ketundukannya kepada Allah pada hari itu dan hilanglah dari mereka apa yang selalu mereka ada-adakan." (QS. An Nahl, 16: 87).
Sejak itulah materialis ini mencoba meyakinkan diri tentang
kenyataan materi, dan membuat-buat "bukti" untuk tujuan ini. Ia
memukulkan tangan ke dinding, menendang batu, berteriak, mencemooh, namun tidak
pernah bisa lepas dari kenyataan.
Sebagaimana mereka ingin menyingkirkan kenyataan ini dari
pikiran, mereka juga ingin orang lain melakukan hal serupa. Mereka sadar bahwa
apabila khalayak umum mengetahui sifat sejati materi, keterbelakangan filsafat
dan kebodohan pandangan dunia mereka akan terungkap sehingga tidak ada landasan
lagi untuk merasionalisasikan pemikiran mereka. Ketakutan ini menyebabkan
mereka sangat terganggu oleh fakta yang dibicarakan di sini.
Allah menyatakan bahwa ketakutan orang-orang yang tidak
percaya tersebut akan semakin bertambah pada hari kiamat. Pada hari pengadilan,
mereka akan mengalami hal sebagai berikut:
Dan (ingatlah), hari yang di waktu itu Kami menghimpun;
mereka semuanya, kemudian Kami berkata kepada orang-orang musyrik, "Di
manakah sembahan-sembahan kamu yang dahulu kamu katakan (sekutu-sekutu
Kami)?" (QS. Al An'aam, 6: 22)
Setelah itu, mereka akan menyaksikan segala kekayaan,
anak-anak, dan lingkungan terdekat yang dianggap nyata dan dijadikan sekutu
bagi Allah, meninggalkan mereka dan menghilang. Kenyataan ini Allah ungkapkan
dalam ayat
"Lihatlah, bagaimana mereka telah berdusta terhadap diri mereka sendiri dan hilanglah daripada mereka sembahan-sembahan yang dulu mereka ada-adakan.." (QS. Al An'aam, 6: 24).
"Lihatlah, bagaimana mereka telah berdusta terhadap diri mereka sendiri dan hilanglah daripada mereka sembahan-sembahan yang dulu mereka ada-adakan.." (QS. Al An'aam, 6: 24).
Keuntungan Orang-Orang Beriman
Sementara materialis gelisah dengan fakta bahwa materi dan
waktu hanya persepsi, hal sebaliknya terjadi pada orang-orang yang beriman.
Mereka yang beriman menjadi senang ketika memahami rahasia di balik materi,
karena kenyataan ini adalah kunci bagi segala pertanyaan. Dengan kunci ini,
semua rahasia terbuka. Mereka akan dengan mudah memahami berbagai hal yang
sebelumnya sukar dipahami.
Seperti telah dikatakan sebelumnya, pertanyaan tentang
kematian, surga, neraka, hari kiamat, perubahan dimensi, dan pertanyaan penting
seperti "Di manakah Allah?", "Apa yang ada sebelum Allah?",
"Siapa yang menciptakan Allah?", "Berapa lamakah kehidupan dalam
kubur?", dan "Di manakah surga dan neraka?"akan mudah terjawab.
Orang-orang beriman akan mengerti bagaimana Allah menciptakan seluruh alam semesta dari ketiadaan. Begitu pahamnya, sehingga dengan rahasia ini pertanyaan "kapan" dan "di mana" menjadi tidak berarti karena karena tidak ada lagi ruang dan waktu. Ketika ketiadaan ruang dipahami, akan dimengerti bahwa neraka, surga dan bumi sesungguhnya adalah tempat yang sama. Bila ketiadaan waktu dipahami, akan dimengerti bahwa segala sesuatu terjadi pada suatu momen tunggal: tidak ada yang perlu ditunggu dan waktu tidak berjalan, karena segalanya telah terjadi dan telah selesai.
Orang-orang beriman akan mengerti bagaimana Allah menciptakan seluruh alam semesta dari ketiadaan. Begitu pahamnya, sehingga dengan rahasia ini pertanyaan "kapan" dan "di mana" menjadi tidak berarti karena karena tidak ada lagi ruang dan waktu. Ketika ketiadaan ruang dipahami, akan dimengerti bahwa neraka, surga dan bumi sesungguhnya adalah tempat yang sama. Bila ketiadaan waktu dipahami, akan dimengerti bahwa segala sesuatu terjadi pada suatu momen tunggal: tidak ada yang perlu ditunggu dan waktu tidak berjalan, karena segalanya telah terjadi dan telah selesai.
Dengan terpahaminya rahasia ini, dunia bagaikan surga bagi
orang-orang beriman. Segala kekhawatiran, kecemasan dan ketakutan material akan
hilang. Manusia beriman akan memahami bahwa seluruh alam semesta memiliki satu
Penguasa, bahwa Dialah yang mengubah seluruh dunia fisik menurut kehendak-Nya,
dan yang harus ia lakukan hanya kembali kepada-Nya. Manusia ini kemudian
sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah, "menjadi hamba yang saleh" (QS. Ali Imran, 3: 35).
Memahami rahasia ini adalah keberuntungan terbesar di
dunia.
Dengan rahasia ini, akan terungkap kenyataan penting lainnya
yang disebutkan di dalam Al Quran bahwa "Allah lebih dekat kepadanya dari-pada urat lehernya
sendiri" (QS. Qaaf, 50: 16). Sebagaimana
diketahui setiap manusia, urat leher berada di dalam tubuh. Apa yang dapat
lebih dekat kepada seseorang selain yang ada di dalam tubuhnya sendiri? Keadaan
ini dapat dijelaskan dengan realitas ketiadaan ruang. Ayat ini juga akan lebih
mudah dimengerti setelah memahami rahasia tersebut.
Inilah kebenaran nyata. Manusia harus benar-benar yakin
bahwa tidak ada penolong dan pemberi selain Allah. Tidak ada satu pun selain
Allah; Dialah satu-satunya yang nyata, tempat manusia mencari perlindungan,
memohon pertolongan dan mengharapkan balasan.
Ke mana pun kita menghadapkan wajah, di sanalah Allah hadir, segala hal yang terjadi dalam kehidupan ini adalah takdir dari Allah Subhanahu wataala. Kepada-Nyalah segala pengetahuan.
Maha Suci Engkau, tidak ada yang
kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al
Baqarah, 2: 32)
Allah
memahami dan mengetahui waktu yang berlaku pada diri kita dari awal hingga akhir sebagai
kejadian tunggal, sebagaimana kita dapat melihat awal, tengah dan akhir sebuah
mistar beserta semua unitnya sebagai satu kesatuan. Manusia mengalami kejadian
hanya bila saatnya tiba, dan mereka menjalani takdir yang telah Allah tetapkan
atas mereka.
Wassalam...
Sumber: Hakikat Kehidupan Dunia, karya Harun Yahya
Wassalam...
Sumber: Hakikat Kehidupan Dunia, karya Harun Yahya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar