Kisah
ini diambil dari catatan Claude de Forbin seorang ksatria Prancis, yang dikirim
ke Siam (sekarang Thailand) oleh Raja Louis XIV, dengan misi yang amat ambisius
dalam hal politik, agama, ilmu, pengetahuan dan ekonomi.
Claude
de Forbin
Claude
de Forbin adalah perwira dan penulis naskah yang sekaligus menjadi pelaku dan
saksi hidup dari satu “tragedi” yang melibatkan sekumpulan orang-orang Makassar
yang saat itu ada di pengungsian di negeri Siam atau kerajaan Ayuthaya.
Kisah luar biasa yang sangat jarang
dipublikasikan…
Kisah ini bermula di abad 17 , tepatnya
tahun 1664, sebanyak kira-kira 250 orang Makassar (laki-laki, perempuan dan
anak-anak) berlayar meninggalkan tanah Gowa dan tiba di kerajaan Siam/Ayuthaya dan diberikan
hak dan membangun komunitas perkampungan bersebelahan dengan orang-orang Melayu
yang sudah lebih dulu menetap.
Orang Makassar berlayar dengan Perahu Pinisi
Seorang pangeran Makassar (Gowa-Tallo) bernama I Yandulu Daeng Mangalle Sebagai salah satu putra dari Sultan Hasanuddin, yang setelah dikalahkan Belanda dan tidak setuju ditandatanganinya Perjanjian Bungaya oleh ayahandanya, pergi ke Siam dan meminta suaka kepada Raja Siam.
Permintaan suaka tersebut dikabulkan oleh Raja Narai. Bukan hanya diberi suaka, Daeng Mangalle (Lidah Perancis menyebutnya Daen Ma-Alee) beserta para pengikutnya diberikan tempat di ibukota raja yang kelak dikenal sebagai Makkasan.
Tipe orang-orang Makassar yang di
Siam abad 17 M.
Akan
tetapi keadaan yang damai dan harmonis di Siam waktu itu tidak berlangsung
lama, karena seringnya terjadi intrik dan perebutan kekuasan dalam lingkungan
keluarga dan kerabat istana. Tidak terkecuali Phra Narai raja dari kerajaan
Ayuthaya dulunya juga adalah seorang yang merebut kekuasaan dengan cara
kekerasan dan berdarah, sehingga ia sadar betul bahwa kekuasaanya tidak berakar
dan tidak kuat dukungannya sehingga ia akan gampang pula digulingkan, karena
itulah ia mempercayakan pertahanan kerajaannya pada serdadu Prancis yang kala
itu sedang berada di Siam atas perintah Raja Prancis. Serdadu Prancis dipimpin
oleh Claude de Forbin dengan 6 kapal dan satu detasemen militer yang
beranggotakan 636 orang.
Situasi Kerajaan Siam pada saat itu
memang sedang kacau, legitimasi dari Raja Phra Narai sedang terancam kudeta dan
pemberontakan. Termasuk beredarnya rumor tentang adanya
"persekongkolan" dari bangsa imigran Melayu yang Muslim dengan pihak
oposisi yang ingin mengkudeta sang Raja.
Rupanya konspirasi ini sudah tercium oleh sang raja, sehingga dengan cepat Phra Narai memperkuat pertahanan istananya dengan menempatkan pasukan Prancis tersebut serta meminta dukungan dari orang asing lainnya.
Daeng Mangalle menolak meminta pengampunan dari Raja dan menyangkal keterlibatannya dalam persekongkolan tersebut. Ia juga menambahkan bahwa dengan gelarnya sebagai Pangeran Makassar, ia tidak mungkin bertindak sebagai pengadu tapi lebih suka bertempur dengan teman-teman setanah airnya, terbunuh secara terhormat dan membawa mati rahasia yang boleh jadi dia tahu mengenai komplotan itu.
Daeng Mangalle berujar kepada Raja :
"Mengenai orang yang telah menghadap Paduka , saya harus katakan bahwa saya tidak mempercayainya sedikitpun, karena sekarang ini Perdana Menteri ialah orang Prancis, dan antara saya dan dia ada saling benci dengan alasan perbedaan agama."
"Mengenai orang yang telah menghadap Paduka , saya harus katakan bahwa saya tidak mempercayainya sedikitpun, karena sekarang ini Perdana Menteri ialah orang Prancis, dan antara saya dan dia ada saling benci dengan alasan perbedaan agama."
Akibatnya selama satu bulan, wilayah
Kampung Makasssar, dikepung oleh pasukan Siam, tetapi Raja mulai kehilangan
kesabaran dan akhirnya memutuskan menggunakan kekuatan Militer untuk memerangi
masyarakat Makassar.
Karena
menolak akhirnya raja memerintahkan Forbin untuk mengepung kapal-kapal orang
Makassar yang berniat meninggalkan Siam. Kontak senjata pertama terjadi 40
orang Makassar menghadapi serdadu Prancis dan Portugis dimana orang-orang
Makassar menyerang mereka dengan mengerikan mengejar pasukan Prancis dan
Portugis sejengkal demi sejengkal tanah yang dilewati menjadi ladang pembantaian,
wanita, anak-anak semua dibunuh tanpa kecuali. Enam orang Makassar menyerang
Pagoda dan membunuh biawarawan disana, tercatat pasukan Eropa-Siam kehilangan
366 orang dan belum lagi korban penduduk sipil.
Forbin yang memimpin pasukan
garnisun Prancis di Benteng Bangkok menerima perintah Raja untuk memblokir dua
tempat keberangkatan perahu Makassar yang berniat meninggalkan kerajaan Siam
dan mengumpulkan kembali awak kapalnya.
Muslihat yang disodorkan oleh Forbin
adalah "berpura pura menggeledah kapal dengan alasan keadaan darurat yang
melanda negara dan dengan dalih mencari orang yang dianggap buronan Siam,
melucuti dan menghentikan semua awak kapal, menurunkan mereka ke darat, membawa
ke benteng dan memenjarakan mereka disana."
Seuntai rantai yang direntangkan
melintasi sungai mengharuskan satu delegasi yang terdiri dari enam orang
Makassar datang bermusyawarah dengan prajurit Prancis tapi mereka menolak keras
'keris/badik' mereka dilucuti dan disita.
Seorang perwira tua Portugis yang
bergabung dalam pasukan Prancis mengingatkan Forbin, "Orang-orang itu
tidak dapat ditundukkan, oleh karena itu kita harus membunuh mereka untuk
menguasai mereka. Terus terang saja, jika Anda sampai ketahuan ingin menangkap
kapten yang berada di dalam anjungan itu, dia dan sedikit orang yang bersamanya
akan membunuh kita semuanya dan tidak membiarkan seorang pun hidup."
Forbin mengira ia cukup dikawal oleh
dengan sepuluh prajurit Siam yang bersenjatakan tombak dan sepuluh prajurit
lainnya dengan bedil untuk memeriksa enam orang Makassar yang hanya
bersenjatakan badik.
"Saya memerintahkan seorang
pejabat Siam untuk pergi menyampaikan kepada kapten Makassar bahwa saya merasa
tersiksa karena dapat perintah untuk menangkapnya, tetapi ia akan dapat
perlakuan baik dari saya. Saat kata pertama terlontar dari mulut pejabat Siam,
sambil mencampakkan topi kain mereka ke tanah , keenam orang Makasssar itu
menghunus 'keris'(badik) dan menyerbu membabi-buta seperti kesurupan, membunuh
seketika itu pejabat Siam dan enam orang rekannya yang ada dalam
paviliun."
Forbin sendiri lolos dari maut.
Empat orang Makassar terbunuh, sementara dua lainnya terluka dan kapten mereka
berhasil lolos.
Prajurit Makassar
Kontak kedua terjadi lagi saat tanggal 23 September 1686, raja memerintahkan serangan besar-besaran ke perkampungan orang Makassar. Akhirnya prinsip orang Bugis-Makassar menghadapi tantangan “Sekali Layar Berkembang Pantang Surut Kebelakang” menyadari bahwa sudah tidak ada kemungkinan lain selain bertempur sampai mati,dan setelah menyadari mereka tak akan memenangkan pertempuran, banyak diantara mereka terpaksa membunuh istri dan anak-anaknya untuk menghindarkan keluarga mereka dari perbudakan dan di perkosa. Beberapa kali pasukan Siam harus mundur menghadapi perlawanan orang Makassar yang sangat berani dan nekat.
"Tuan Beauregard, kapten
berkebangsaan Prancis , ketika melihat bahwa kapten Makassar itu tertembak
beberapa peluru dan sekarat, melarang sersannya untuk membunuhnya.
Ia mendekati kapten itu dan merampas 'keris'nya.
Ia mendekati kapten itu dan merampas 'keris'nya.
Tapi Beauregard nenarik sarungnya, bukan gagangnya dan kapten Makassar yang nyaris mati itu masih punya cukup kekuatan menghunus keris/badik dan merobek perutnya,"
Forbin memanggil bala bantuan
pasukan yang terdiri dari enam puluh orang Portugis yang dipimpin oleh seorang
kapten berkebangsaan Inggris yang tanpa menunggu perintah Forbin membawa
pasukannya maju melawan orang-orang Makassar.
Segera saja ke empat puluh tujuh
orang Makassar yang sampai saat itu jongkok dengan cara mereka, tiba-tiba
bangkit dan dengan melingkari tangan kiri mereka dengan sejenis kain selempang
yang biasanya mereka lilitkan dipinggang atau dikepala , mereka menerjang orang
Portugis dengan keris di tangan, kepala menunduk dan dengan kekuatan besar
menikam dan mencabik-cabik orang-orang Portugis, nyaris sebelum kami (Forbin).
Sadar bahwa mereka sudah diserang.
Dari situ mereka mendesak kearah pasukan yang saya pimpin tanpa kehabisan nafas,
meski saya memiliki seribu lebih prajurit bersenjatakan tombak dan bedil,
Orang-orang mengerikan itu menyerang pasukan saya sedemikian rupa sehingga
semuanya terjungkal. Orang-orang Makassar itu bergerak dengan menginjaki perut
mereka dan membunuh semua yang dapat mereka jangkau, benar-benar pembantaian
yang mengerikan.
Dalam keadaan yang kalang kabut itu, mereka
mendesak kami hingga ke kaki tembok benteng baru. Enam diantara mereka, yang
paling nekat, mengejar pasukan yang kabur dan masuk kedalam teluk buatan yang
menghadap sungai dekat tembok benteng kecil persegi empat. Mereka melewati
benteng di sisi lain dan menjadikan semua tempat itu pembantaian yang
mengerikan, dengan membunuh tanpa memandang usia dan jenis kelamin, wanita,
anak-anak dan semua yang ada di hadapan mereka.
Sementara itu Orang-orang Makassar
yang merupakan bagian terbesar pasukan mereka kembali ke kapal untuk mencari
tombak dan perisai sekaligus menyalakan api dikapal untuk menunjukkan ketetapan
hati mereka untuk bertempur.
Mereka menyusuri tepian sungai ,
melempari rumah-rumah dengan api, menebarkan terror dimana-mana.
Enam orang Makassar menyerang Pagoda
dan membunuh semua biarawan di sana, lalu bersembunyi di balik rerumputan
tinggi , dimana mereka dihalau dan dirubuhkan dengan bedil.
Dalam pertempuran itu saja, pasukan
Eropa-Siam telah kehilangan 366 orang belum lagi korban penduduk sipil,
sedangkan korban di pihak Makassar hanya tujuh belas orang.
Selama tiga minggu orang-orang Makassar
itu terkepung di tengah hutan yang digenangi air pasang dan hanya keluar
sebentar untuk mencari makanan berupa sayuran dan buah-buahan di kebun
disekitarnya.
Forbin berpikir bahwa saatnya telah
tiba memberikan pukulan terakhir, karena mereka mustahil dapat merawat
luka-luka mereka dan tentu sangat lemah.
Hanya tersisa tujuh belas orang yang
selamat dari orang Makassar, Forbin mengepung hutan dengan dua ribu prajurit
Siam. Ia mengusulkan kepada orang Makassar itu untuk menyerah, tetapi mereka
" melompat kedalam air dengan keris di mulut, mereka berenang untuk
menyerang kami, Orang-orang Siam yang mendapatkan keberanian dari pidato dan
contoh yang saya tunjukkan, melepaskan tembakan ke arah orang-orang yang putus
asa itu, sehingga tak ada satu pun yang selamat.
Demikianlah akhir petualangan
menyedihkan, yang selama satu bulan membuat saya luar biasa lelah, nyaris
kehilangan nyawa serta menyebabkan saya membunuh begitu banyak orang."
Sementara itu, 23 September 1686, di
Ayuthaya tiga puluh hingga empat puluh orang Makassar yang sudah jadi penduduk
setempat diundang ke Istana untuk bermusyawarah tapi sekali lagi menolak
menanggalkan keris mereka dan senjata lain sebelum menghadap raja. Dengan mudah menduga niat pihak
kerajaan, mereka pun menolak dilucuti sebelum pembicaraan dimulai.
Kapten mereka, Daeng Mangalle tetap
saja berpura-pura tidak bersalah dan tidak merasa perlu meminta pengampunan
dari raja, karena sebelumnya telah diberi tahu
mengenai komplotan itu tapi tidak mengambil bagian secara langsung di dalamnya,
kapten itu hanya dituduh bersalah karena tidak memberi tahu raja.
Kehormatan mencegahnya untuk
bertindak sebagai pengadu dan sebagai mata-mata terhadap teman-temannya
seagama.
Di malam 23 September raja nemerintahkan beberapa ribu prajuritnya
mengepung 'Kampong Makassar' di Ayuthaya, diperkuat dengan dua Kapal Perang,
dua puluh dua kapal dayung dan enam puluhan kapal kecil yang menyeberangi sungai.
Melihat persiapan itu, orang-orang
Makassar paham bahwa serangan sudah dimulai. Semua tahu tidak ada kemungkinan
lain untuk mereka kecuali bertempur sampai mati dan banyak diantara meraka
membunuh isteri dan anak-anak mereka sendiri agar terhindar dari penjara dan
perbudakan.
Tanda serangan diberikan jam 4,30.
Serangan pertama gagal dan sebagian
besar penyerang tewas .
Kapten Inggris, Coates yang memimpin
kapal perang Siam, setelah melemparkan bola-bola api untuk membakar
rumah-rumah, mengira telah berhasil menaklukkan semua perlawanan dan mencoba
mendarat dengan sekitar selusin orang Inggris dan seorang perwira Prancis.
Orang-orang Makasssar menggali parit
untuk perlindungan dan keluar dari situ untuk melancarkan serangan balasan.
Coates mendapat hantaman di
kepalanya hingga terlempar ke air dan karena berat baju zirahnya, ia tenggelam.
Sementara itu perwira Prancis tadi
selamat karena bisa berenang. Bala bantuan dari orang-orang Makassar datang dan
bergerombol diantara pepohonan bambu sebelum keluar lagi untuk menggempur
habis-habisan di bawah pengaruh, tulis Pastor Tachard , gumpalan-gumpalan candu
"yang membuat mereka mengamuk dan melenyapkan semua pikiran dan keinginan
lain kecuali membunuh atau dibunuh" .
Pasukan Siam sekali lagi harus
mundur dan menunggu bantuan baru dari empat ratus orang.
Pasukan Siam berjumlah tiga ribu
prajurit yang didahului dengan delapan ratus 'mousquetaires' (prajurit
bersenjatakan bedil).
Forbin menjelaskan suasana serangan
dan taktik yang diterapkan untuk gerak maju pasukan-pasukan itu :
" Karena wilayah itu terendam sehingga orang terpaksa berjalan didalam air setinggi separoh tungkai, jenderal Siam disuruh membuat jaringan kisi-kisi yang terdiri dari bilah-bilah kayu yang masing-masing dipasangi tiga paku sebagai ranjau. Peralatan ini yang bergerak didepan pasukan, dibenamkan kedalam air ......Orang Makassar seperti biasanya maju menyerang dengan kepala tertunduk dan tanpa melihat dimana kaki berpijak, lantas sebagian besar terjebak hingga tidak bisa maju maupun mundur.
" Karena wilayah itu terendam sehingga orang terpaksa berjalan didalam air setinggi separoh tungkai, jenderal Siam disuruh membuat jaringan kisi-kisi yang terdiri dari bilah-bilah kayu yang masing-masing dipasangi tiga paku sebagai ranjau. Peralatan ini yang bergerak didepan pasukan, dibenamkan kedalam air ......Orang Makassar seperti biasanya maju menyerang dengan kepala tertunduk dan tanpa melihat dimana kaki berpijak, lantas sebagian besar terjebak hingga tidak bisa maju maupun mundur.
Kami lalu membunuhi banyak diantara
mereka dalam keadaan berdiri dengan berondongan bedil.
Kami terus menghalau musuh dari satu
pemukiman ke pemukiman lainnya, setelah membakarnya terlebih dahulu.
Kami mendengar jerit mengerikan para
wanita yang terbakar dalam rumah mereka. Mengenai yang pria, mereka baru keluar
pada saat terakhir dan menyerang membabi-buta dengan senjata tajam guna
bertempur sampai mati.
Putra sulung Daeng Mangalle yang
masih berusia 14 tahun melihat ayahnya terkapar di tanah, melemparkan
senjatanya ke kaki menteri yang membiarkan anak itu hidup.
Akhirnya pertempuran itu berakhir
jam tiga siang dengan menyerahnya 22 orang Makassar dan 33 mayat prajurit
mereka dikumpulkan dari medan pertempuran .
Daeng Mangalle sendiri terluka
dengan lima tusukan tombak dan setelah tangannya tertembak langsung menerjang
menteri Siam dan membunuh seorang Inggris.
Selama dua atau tiga hari, kami memburu
mereka yang masih hidup. Orang-orang Siam tidak memberi ampun pada tawanan
mereka. Kebanyakan mereka disiksa dengan kejam : pasak ditancapkan menembus
kuku, tangan dibakar, pelipis dijepit dengan dua papan, sebelum diikat di tiang
untuk santapan harimau.
Tachard menambahkan bahwa
orang-orang yang memegang senjata ditangan mereka dipenggal dan kepalanya dipamerkan
di depan rakyat jelata.
Beberapa dari mereka dikubur hingga
leher, lalu mati setelah dicemooh dan dihina penonton yang tidak punya belas
kasihan. Sementara anak-anak dan wanita, yang tidak terbunuh dalam penyerangan
atau terbakar dalam rumah, dijual sebagai budak."
Peristiwa
di Siam ini benar-benar membuat penduduk setempat kagum akan keberanian
kenekatan orang-orang Makassar menghadapi tentara yang berjumlah ribuan dengan
senjata lebih lengkap sementara orang Makassar hanya bersenjatakan tombak dan
badik, selama pertempuran itu 1000an orang Siam dan 17 orang asing tewas mengenaskan.
Tachard
mengabadikan gugurnya Daeng Mangalle bersama prajurit Makassar dalam
sebuah catatannya. Menurut sang pastor keberanian tentara Makassar
hampir-hampir tidak masuk di akal.
Pastor itu menulis, seumur hidupnya, baru pertama kali menyaksikan keberanian manusia yang dikenal sebagai prajurit Makassar. Saat itu, seorang prajurit Makassar yang telah membunuh tujuh tentara Perancis, akhirnya berhasil dilumpuhkan dengan tembakan dan tikaman bayonet bertubi-tubi. Seorang tentara Perancis menendang-nendang kepala prajurit Makassar yang tengah menghadapi sekaratul maut itu. Tiba-tiba saja prajurit Makassar itu bangkit lalu membunuh tentara yang menendang-nendang kepalanya itu, kemudian dia pun mengembuskan nafasnya yang terakhir. “Tak ada alasan lain yang membuat prajurit itu mendapatkan kembali kekuatannya, selain karena mempertahankan harga diri dan keberanian (Siri’ na Pacce/Semboyan orang Makassar),” tulis sang pastor.
Kekaguman Raja Siam terhadap keberanian Daeng Mangalle, menjadikan dua putranya, yakni Daeng Tulolo dan Daeng Ruru, diampuni Raja Siam dan dibawa oleh Kapten tentara Perancis menghadap raja dan menetap di Perancis. Mungkin karena iba, kantor perwakilan dagang Prancis di Siam memberi kesempatan kedua pangeran malang itu untuk belajar ke Prancis. Pada masa itu pendidikan militer untuk anak lelaki telah menjadi tradisi kebanggan kerajaan-kerajaan Nusantara.
Saat itu pelayaran ke Eropa sungguhlah lama. Keduanya berlayar dengan kapal Coche menuju Eropa pada akhir November 1686, dan baru berjejak di Prancis pada September 1687.
Setelah
dibaptis, mereka mendapatkan nama kehormatan—bak Raja Prancis. Daeng Ruru
bergelar Louis Pierre de Macassar, sementara saudaranya Daeng Tulolo mendapat
gelar Louis Dauphin de Macassar.
Sebagai anak dari tanah seberang benua dan samudra, keduanya mendapat pengajaran bahasa Prancis di kolose jesuit Louis le-Grand. Lembaga sekolah yang didirikan akhir abad ke-16 tersebut, hingga kini masih mengajarkan nilai tradisi Prancis dan mempertahankan tradisi keterbukaan terhadap dunia luar. Setidaknya sepersepuluh dari siswanya selalu berasal dari penjuru dunia.
Setelah lulus dari kolose jesuit itu mereka diterima di sekolah tinggi Clermont yang bergengsi. Kemudian, keduanya mendapat rekomendasi dari Louis XIV untuk melanjutkan ke sekolah perwira angkatan laut yang tersohor sebagai perintis sekolah marinir di Prancis. Salah satu syarat untuk diterima menjadi kadet adalah si calon harus berusia di bawah 18 tahun dan berasal dari keluarga ningrat.
Sebagai anak dari tanah seberang benua dan samudra, keduanya mendapat pengajaran bahasa Prancis di kolose jesuit Louis le-Grand. Lembaga sekolah yang didirikan akhir abad ke-16 tersebut, hingga kini masih mengajarkan nilai tradisi Prancis dan mempertahankan tradisi keterbukaan terhadap dunia luar. Setidaknya sepersepuluh dari siswanya selalu berasal dari penjuru dunia.
Setelah lulus dari kolose jesuit itu mereka diterima di sekolah tinggi Clermont yang bergengsi. Kemudian, keduanya mendapat rekomendasi dari Louis XIV untuk melanjutkan ke sekolah perwira angkatan laut yang tersohor sebagai perintis sekolah marinir di Prancis. Salah satu syarat untuk diterima menjadi kadet adalah si calon harus berusia di bawah 18 tahun dan berasal dari keluarga ningrat.
Louis Pierre de
Macassar
Karir marinir Daeng Ruru meroket. Dia lulus tercepat dengan menempuh sekolah selama dua tahun. Pangkatnya letnan muda pada usia 19 tahun—setara letnan di angkatan darat. Setahun kemudian dianugerahi pangkat letnan angkatan laut, setara kapten di angkatan darat.
Bantuan keuangan sungguh diperlukan, lantaran Ruru tak hanya membutuhkan kecerdasan, tetapi juga uang. Konon untuk mencapai prestasi gemilang macam itu, orang harus cerdas dan berharta. Daeng Ruru berhasil karena itu. Tapi anehnya, pada 1706, Louis Pierre Makassar (Daeng Ruru) tak diajak ikut dalam operasi angkatan laut ketika itu. Ia mengirim surat keluhan kepada de Pontchartain, menteri kelautan kerajaan. Protes.
Louis Dauphin de
Macassar
Tak seperti
kakaknya yang berkarir melejit, Daeng Tulolo harus menanti 13 tahun lamanya
untuk mendapatkan pangkat letnan muda.
Masa-masa keemasan kedua ningrat itu kian mendekati akhir. Pada 1707, Daeng Ruru bertugas di sebuah kapal yang menyergap kapal-kapal militer Belanda dan membantu armada Spanyol untuk memerangi Inggris di Havana. Ironisnya, Pada 19 Mei 1708 Daeng Ruru tewas di depan Havana setelah bertempur Habis-habisan.
Sementara itu, Daeng Tulolo yang karirnya mentok berpangkat letnan muda, melanjutkan dinasnya di sebuah kapal India. Dia wafat 30 November 1736 pada usia 62 tahun, ia dibawa ke gereja Carmes di kota itu untuk disemayamkan dengan dihadiri beberapa perwira angkatan laut. Ia dikubur dalam gereja Louis de Brest. Jenazahnya hancur ketika terjadi pemboman saat perang dunia II.. Beberapa kolega angkatan laut menghadiri penghormatan terakhir kepada Sang Louis Dauphin Makassar. Suatu kehormatan, keturunan raja-raja Makassar itu dimakamkan di tempat terhormat dalam Gereja Saint-Louis de Brest, barat laut Prancis.
Demikianlah kisah dua bangsawan asal Tanah Daeng yang mengembara hingga ke Prancis. Tampaknya hubungan antara orang Prancis dan orang Indonesia sudah terjalin sejak ratusan tahun silam.
Masa-masa keemasan kedua ningrat itu kian mendekati akhir. Pada 1707, Daeng Ruru bertugas di sebuah kapal yang menyergap kapal-kapal militer Belanda dan membantu armada Spanyol untuk memerangi Inggris di Havana. Ironisnya, Pada 19 Mei 1708 Daeng Ruru tewas di depan Havana setelah bertempur Habis-habisan.
Sementara itu, Daeng Tulolo yang karirnya mentok berpangkat letnan muda, melanjutkan dinasnya di sebuah kapal India. Dia wafat 30 November 1736 pada usia 62 tahun, ia dibawa ke gereja Carmes di kota itu untuk disemayamkan dengan dihadiri beberapa perwira angkatan laut. Ia dikubur dalam gereja Louis de Brest. Jenazahnya hancur ketika terjadi pemboman saat perang dunia II.. Beberapa kolega angkatan laut menghadiri penghormatan terakhir kepada Sang Louis Dauphin Makassar. Suatu kehormatan, keturunan raja-raja Makassar itu dimakamkan di tempat terhormat dalam Gereja Saint-Louis de Brest, barat laut Prancis.
Demikianlah kisah dua bangsawan asal Tanah Daeng yang mengembara hingga ke Prancis. Tampaknya hubungan antara orang Prancis dan orang Indonesia sudah terjalin sejak ratusan tahun silam.
Napoleon Bonaparte keturunan
Makassar
Konon, mereka inilah kakek moyangnya
si Napoleon Bonaparte. Dan, itulah sebabnya, Napoleon itu kecil dan tidak
tinggi. Juga, menurut buku ini kedua cucu Sultan Hasannudin itulah yang
mengenalkan Perancis dengan binatang kesayangan ayam jago. Sama persis dengan
ayam jagonya Sultan Hasanudin.
Ayam jago dari Makassar
Ayam jago simbolisasi yang selalu melekat dengan negara Prancis
Lambang visconti dari Garulla menggambarkan seekor ayam jantan
Luar biasa ya sejarah kita, ini
bukan cocoklogi tapi fakta sejarah yang sangat jarang diketahui, bangga jadi tu
Mangkasara’, bangga jadi tu Gowa…
Sultan Hasanuddin, dijuluki ayam jantan dari timur
(Sumber: Bernard Dorleans, " Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX).